Kewajiban dan Kemuliaan Mengajarkan Ilmu
Kewajiban Menyebarkan Ilmu
Sekitar 20 tahun lalu, saat saya berada di surau Buya Pito Sutan Ahmad rahimahullah (salah seorang guru saya di kampung, Kampar Kiri Hulu), beliau dikunjungi oleh salah seorang muridnya, anak kampung itu yang sedang kuliah di kota. Pemuda ini pun menceritakan tentang keseruan aktivitas belajarnya di kampus. Saya melihat sosok Buya yang sudah sepuh dan terkenal tawadhu’ ini senang mendengar cerita muridnya. Tapi yang paling berkesan bagi saya hingga sekarang, saat Buya memberikan nasehat kepada anak muda itu, “Besok kalau sudah selesai, pulang ke kampung mengajarlah, buat Madrasah!”. Kalimat mulia itu terlahir dari jiwa seorang Buya yang terlihat sangat menginginkan agar para pemuda di kampungnya yang telah diberikan Allah Ta’ala rizki bisa belajar di perantauan agar pulang kampung dan mengajarkan ilmu kepada masyarakat.
Demikianlah contoh potret prinsip dan nasehat sosok Buya dan para Kiyai di Nusantara ini. Mereka senantiasa mendorong murid-muridnya serta siapa pun para penuntut ilmu agar menyebarkan ilmunya setelah belajar di pesantren dan lembaga pendidikan lainnya. Bahkan mereka memandang, murid yang tidak mengajarkan ilmunya adalah murid yang mati.
Dikisahkan, suatu hari, Kiyai Ahmad Zarkasyi, sosok Kiyai Gontor yang terkenal itu bertanya kepada salah seorang muridnya, alumni pondoknya yang sudah tamat.
Kyai: “Kamu sudah mengajar?”
Santri: “Belum.”
Kyai: “Mati, kamu!”
Lalu disambung lagi.
Kyai: “Sudah menulis atau menterjemahkan buku?”
Santri: “Belum.”
Kyai: “Mati, kamu!”
Kemudian disambung lagi.
Kyai: “Sudah kawin?”
Santri: “Belum.”
Kyai: “Mati, kamu!”
(https://gontor.ac.id/)
Sungguh mengajarkan ilmu adalah kewajiban para penuntut ilmu yang sudah dikaruniakan Allah Ta’ala ilmu yang bermanfaat. Syaikh Bin Baaz rahimahullah memberikan nasehat kepada para da’i dan ahli ilmu,
وَيَجِبُ أَنْ تَحْرِصَ عَلَى نَشْرِ الْعِلْمِ بِكُلِّ نَشَاطٍ وَقُوَّةٍ، وَأَنْ لَا يَكُونَ أَهْلُ الْبَاطِلِ أَنْشَطَ فِي بَاطِلِهِمْ، وَأَنْ تَحْرِصَ عَلَى نَفْعِ الْمُسْلِمِينَ فِي دِينِهِمْ وَدُنْيَاهُمْ.
“Dan wajiblah kamu berusaha keras untuk menyebarkan ilmu dengan seluruh semangat dan kekuatan, serta jangan biarkan Ahlul Baathil lebih aktif dalam kebatilan mereka. Dan kamu harus berupaya untuk memberikan manfaat kepada umat Muslim dalam urusan agama dan kehidupan dunia mereka.” (Majmu’ Fataawa Li Ibni Baaz, 9/223)
Dalam kesempatan lain Syaikh juga berkata,
وَالْمَشْرُوعُ لِلْمُسْلِمِ إِذَا سَمِعَ الْفَائِدَةَ أَنْ يُبَلِّغَهَا غَيْرَهُ، وَهَكَذَا الْمُسْلِمَةُ تُبَلِّغُ غَيْرَهَا مَا سَمِعَتْ مِنَ الْعِلْمِ، لِقَوْلِ النَّبِيِّ ﷺ:
Dan disyari’atkan bagi seorang muslim ketika ia mendengar suatu faedah hendaklah ia menyampaikannya kepada orang lain. Demikian juga seorang muslimah hendaklah menyampaikan kepada orang lain apa yang ia dengar dari ilmu itu. Hal ini berdasarkan sabda Nabi ﷺ:
«بَلِّغُوا عَنِّي وَلَوْ آيَةً»،
Sampaikanlah dariku meskipun hanya satu ayat.
وَكَانَ النَّبِيُّ ﷺ إِذَا خَطَبَ النَّاسَ يَقُولُ: «لِيَبْلُغْ الشَّاهِدُ الْغَائِبَ! فَرُبَّ مُبَلِّغٍ أَوْعَىٰ مِنْ سَامِعٍ
Dan Nabi ﷺ jika berkhutbah kepada orang banyak, beliau berkata: Hendaklah yang hadir menyampaikan kepada yang tidak hadir! Bisa jadi orang yang menyampaikan lebih memahami dari pada yang mendengar. (Majmu’ Fatawa, 4/54)
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata,
وَلَقَدْ أَوْصَانِي رَجُلٌ مِنْ عَامَّةِ النَّاسِ فَقَالَ لِي: يَا بُنَيَّ احْرِصْ عَلَىٰ نَشْرِ الْعِلْمِ حَتَّىٰ فِي الْمَجَالِسِ! كَمَجَالِسِ الْقَهْوَةِ، أَوِ الْغَدَاءِ، أَوْ مَا أَشْبَهَ ذٰلِكَ، وَلَا تَتْرُكْ مَجْلِسًا وَاحِدًا إِلَّا وَأَهْدَيْتَ إِلَىٰ الْجَالِسِينَ وَلَوْ مَسْأَلَةً وَاحِدَةً، أَوْصَانِي بِذٰلِكَ وَأَنَا أُوصِيكُمْ بِذٰلِكَ؛ لِأَنَّهَا وَصِيَّةٌ نَافِعَةٌ.
“Sungguh seorang lelaki dari kalangan masyarakat biasa pernah berwasiat kepadaku dan berkata: ‘Wahai anakku, berusahalah untuk menyebarkan ilmu bahkan di majelis-majelis! Seperti majelis kopi, makan siang, atau yang semacam itu. Jangan tinggalkan satu majelis pun tanpa kamu memberikan petunjuk kepada orang-orang yang duduk walaupun satu masalah (faedah) saja. Dia berwasiat demikian kepadaku dan aku juga berwasiat kepada kalian; karena ini adalah wasiat yang bermanfaat.” (Ta’liq Shahih Muslim, Hadits no. 7114, 152 ,1154)
Kemuliaan Menyebarkan Ilmu
Mengajarkan ilmu adalah amalan mulia yang luar biasa, sehingga para pengajar ilmu memiliki kedudukan yang sangat mulia setelah para Nabi ﷺ. Ibnul Mubarak rahimahullah berkata,
وَلَا أَعْلَمُ بَعْدَ النُّبُوَّةِ دَرَجَةً أَفْضَلَ مِنْ بَثِّ الْعِلْمِ
“Dan aku tidak mengetahui ada derajat yang lebih mulia setelah kenabian selain menyebarkan ilmu.” (Tahdzibul Kamaal, 16/20)
Dalam kitab Mau’izhtul Mu’minin dijelaskan,
وَقَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «الْعُلَمَاءُ وَرَثَةُ الْأَنْبِيَاءِ» وَمَعْلُومٌ أَنَّهُ لَا رُتْبَةَ فَوْقَ النُّبُوَّةِ، وَلَا شَرَفَ فَوْقَ شَرَفِ الْوِرَاثَةِ لِتِلْكَ الرُّتْبَةِ
“Rasulullah ﷺ bersabda: ‘Para ulama adalah pewaris para nabi.’ Dan diketahui bahwa tidak ada kedudukan yang lebih tinggi dari pada kenabian, serta tidak ada kemuliaan yang lebih besar daripada warisan terhadap kedudukan tersebut.” (Mau’izhatul Mu’minin, hal. 13)
Orang-orang berbangga diri mendapatkan pangkat dan jabatan, bangga mendapatkan warisan kekayaan yang ditinggalkan orang tuanya. Sungguh seorang penuntut ilmu sangat berbahagia dikaruniakan oleh Allah Ta’ala warisan ilmu NabiNya ﷺ. Para Nabi tidak mewariskan harta, pangkat dan jabatan, emas dan intan berlian. Mereka hanya mewariskan ilmu pegetahuan. Nabi ﷺ bersabda,
وَإِنَّ العُلَمَاءَ وَرَثَةُ الأَنْبِيَاءِ، وَإِنَّ الأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوا دِينَارًا وَلَا دِرْهَمًا، وَرَّثُوا العِلْمَ فَمَنْ أَخَذَهُ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ
“Sesungguhnya para ulama adalah pewaris para nabi, dan sesungguhnya para Nabi tidak mewariskan dinar atau dirham, tetapi mereka mewariskan ilmu. Maka siapa yang mengambilnya, ia telah mengambil bagian yang banyak.” (H.R. Abu Dawud, no. 3641, Shahih)
Beliau juga bersabda,
وَلَكِنْ بَعَثَنِي مُعَلِّمًا مُيَسِّرًا
“Tetapi Allah mengutusku sebagai seorang pengajar yang memberi kemudahan.” (H.R. Shahihul Jaami’, 1806)
Nabi ﷺ adalah seorang guru yang mengajarkan Ilmu, maka berbahagialah wahai para guru mewarisi perjuangan nabi ﷺ.
Guru adalah para pejuang, mujahid-mujahid dakwah yang sedang berjihad di jalan Allah Ta’ala. Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata,
إِنَّ فِي نَشْرِكَ لِلْعِلْمِ نَشْرًا لِدِينِ اللَّهِ فَتَكُونَ مِنَ المُجَاهِدِينَ فِي سَبِيلِهِ لِأَنَّكَ تَفْتَحُ القُلُوبَ بِالْعِلْمِ كَمَا يَفْتَحُ المُجَاهِدُ البِلَادَ بِالسِّلَاحِ وَالإِيمَانِ
“Sesungguhnya engkau menyebarkan ilmu (agama) berarti engkau menyebarkan agama Allah. Maka kamu termasuk dari para mujahid di jalan-Nya, karena kamu membuka hati-hati (manusia) dengan ilmu sebagaimana seorang mujahid membuka negeri-negeri dengan senjata dan iman.” (Syarhu Du’a Qunutil Witri, hal. 12)
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,
فَالدَّعْوَةُ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى هِيَ وَظِيفَةُ الرُّسُلِ وَأَتْبَاعِهِمْ وَهُمْ خُلَفَاءُ الرُّسُلِ فِي أُمَمِهِمْ وَالنَّاسُ تَبَعٌ لَهُمْ وَاللَّهُ سُبْحَانَهُ قَدْ أَمَرَ رَسُولَهُ أَنْ يُبَلِّغَ مَا أُنْزِلَ إِلَيْهِ وَضَمِنَ لَهُ حِفْظَهُ وَعِصْمَتَهُ مِنَ النَّاسِ وَهَكَذَا الْمُبَلِّغُونَ عَنْهُ مِنْ أُمَّتِهِ لَهُمْ مِنْ حِفْظِ اللَّهِ وَعِصْمَتِهِ إِيَّاهُمْ بِحَسَبِ قِيَامِهِمْ بِدِينِهِ وَتَبْلِيغِهِمْ لَهُمْ وَقَدْ أَمَرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالتَّبْلِيغِ عَنْهُ وَلَوْ آيَةً وَدَعَا لِمَنْ بَلَّغَ عَنْهُ وَلَوْ حَدِيثًا وَتَبْلِيعُ سُنَّتِهِ إِلَى الأُمَّةِ أَفْضَلُ مِنْ تَبْلِيعِ السِّهَامِ إِلَى نُحُورِ الْعَدُوِّ لِأَنَّ ذَلِكَ التَّبْلِيغَ يَفْعَلُهُ كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ وَأَمَّا تَبْلِيعُ السُّنَنِ فَلَا تَقُومُ بِهِ إِلَّا وَرَثَةُ الأَنْبِيَاءِ وَخُلَفَاؤُهُمْ فِي أُمَمِهِمْ جَعَلَنَا اللَّهُ تَعَالَى مِنْهُمْ بِمَنْهِ وَكَرَمِهِ
“Berdakwah (menyeru) kepada Allah Ta’ala adalah tugas para rasul dan pengikut mereka, dan mereka adalah pengganti para rasul di kalangan umat mereka dan manusia mengikuti mereka. Allah Subhanahu telah memerintahkan rasul-Nya untuk menyampaikan apa yang diturunkan kepada-Nya dan menjamin pemeliharaan serta perlindungan-Nya dari manusia. Demikian pula, para Mubaligh dari umatnya mendapat perlindungan dan penjagaan dari Allah sesuai dengan kesungguhan mereka dalam agama-Nya dan penyampaian mereka. Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memerintahkan untuk menyampaikan darinya, meskipun hanya satu ayat, dan beliau mendoakan orang yang menyampaikan darinya, meskipun hanya satu hadits. Menyampaikan sunnah kepada umat lebih utama daripada menyampaikan (melemparkan) anak panah ke leher musuh, karena melempar (anak panah) tersebut dapat dilakukan oleh banyak orang, sedangkan penyampaian sunnah tidak dilakukan kecuali oleh pewaris nabi dan pengganti mereka di kalangan umat itu. Semoga Allah Ta’ala menjadikan kita termasuk golongan mereka dengan karunia dan kemurahan-Nya.” (Jalaaul Afham, hal. 415)
Menyebarkan ilmu adalah amal mulia, apalagi di daerah yang banyak tersebar praktek kesyirikan dan hal-hal yang bertolak belakangan dengan petunjuk Nabi ﷺ.
Seseorang bertanya kepada Syaikh Shalih Alu Asy-Syaikh hafizhahullah,
مَا تَوْجِيهُكُمْ لِمَنْ يُشَارِكُ فِي بِلَادٍ تَكْثُرُ فِيهَا الْبِدَعُ وَالشِّرْكِيَّاتُ؟
Apa nasihat Anda bagi mereka yang berpartisipasi di negari-negeri yang banyak terdapat bid’ah dan syirik di dalamnya?
Syaikh menawab,
نَشْرُ الْعِلْمِ عِبَادَةٌ وَجِهَادٌ.
Menyebarkan ilmu adalah ibadah dan jihad.
Dan Allah – Maha Tinggi dan Maha Agung – memerintahkan Nabi-Nya ketika beliau di Mekkah untuk berjihad melawan orang-orang musyrik dengan ilmu. Allah – Maha Tinggi – berfirman:
فَلَا تُطِعِ الْكَافِرِينَ وَجَاهِدْهُمْ بِهِ جِهَادًا كَبِيرًا [الفرقان: ٥٢]. يعني بِالْعِلْمِ، وَبِالْقُرْآنِ
“Maka janganlah kamu mengikuti orang-orang kafir, dan berjihadlah terhadap mereka dengan Al Quran dengan jihad yang besar.” (Q.S. Al-Furqan, 52)
Maksudnya adalah dengan ilmu, yaitu dengan Al-Qur’an.
فَأَعْظَمُ مَا يَكُونُ جِهَادُ الأَعْدَاءِ بِالْعِلْمِ، وَبِهِ يَبْقَى الْخَيْرُ وَيَبْقَى التَّأْثِيرُ، فَطَالِبُ الْعِلْمِ يُؤَثِّرُ، وَيَنْشُرُ الْخَيْرَ وَتَتَّسِعُ الدَّائِرَةُ مَعَ الزَّمَنِ، وَهَكَذَا
Maka, jihad yang paling besar terhadap musuh-musuh adalah dengan ilmu, dan dengan ilmu kebaikan akan tetap ada dan pengaruhnya akan berlanjut. Seorang penuntut ilmu akan mempengaruhi, menyebarkan kebaikan, dan lingkungannya akan meluas seiring waktu, dan seterusnya.
Dan bagian akhir nasehatnya Syaikh berkata,
لِهَٰذَا أَعْظَمُ مَا تُجَاهِدُ بِهِ أَعْدَاءَ اللَّهِ -جَلَّ وَعَلَا- وَالشَّيْطَانَ نَشْرُ الْعِلْمِ، فَانْشُرْهُ فِي كُلِّ مَكَانٍ بِحَسَبِ مَا تَسْتَطِيعُ
“Karena itu, cara terbesar untuk berjihad melawan musuh-musuh Allah alla Wa “alaa serta setan adalah dengan menyebarkan ilmu. Jadi, sebarkanlah ilmu tersebut di setiap tempat sesuai dengan kemampuanmu.” (Al-Washaayaa Al-Jaliyyah, hal.45/46)
Mengajarkan ilmu adalah tingkatan kedermawanan yang tinggi. Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,
الْجُودُ بِالْعِلْمِ وَبَذْلِهِ، وَهُوَ مِنْ أَعْلَى مَرَاتِبِ الْجُودِ، وَالْجُودُ بِهِ أَفْضَلُ مِنَ الْجُودِ بِالْمَالِ؛ لِأَنَّ الْعِلْمَ أَشْرَفُ مِنَ الْمَالِ
“Murah hati (Dermawan) dengan ilmu dan menyebarkannya merupakan salah satu derajat kemurahan hati yang tertinggi, dan kemurahan hati dengan ilmu lebih utama daripada kemurahan hati dengan harta, karena ilmu lebih mulia daripada harta.” (Madaarijus Saalikin, 3/6)
Sungguh kemuliaan para guru teramat sangat banyak. Tinggal semangat juang yang harus senantiasa kita suburkan di jiwa ini. Semoga Allah Ta’ala memberikan taufiq-Nya kepada kita.
Penulis: Firdaus Basyir As-Subayanjiy
Artikel: markizonline.com