Inspirasi Pendidikan

Jalanmu Sudah Tepat Wahai Guru dan Para Penuntut Ilmu

Jalan kenikmatan hidup seringkali tidak ditempuh oleh manusia yang menginginkannya. Banyak yang tertipu dengan kesenangan semu nan tampak indah, sejatinya menyengsarakan bathin mereka. Tak jarang fitnah dunia itu juga menyambar para penuntut ilmu, mereka pun terpanah dengan fatamorganya. Akhirnya jalan kemuliaan dan kebahagiaan hakiki itu pun ia tinggalkan.

تَرْجُو النَّجَاةَ وَلَمْ تَسْلُكْ مَسَالِكَهَا * إِنَّ السَّفِينَةَ لاَ تجْرِي عَلَى اليَبَسِ

“Kamu berharap keselamatan, tetapi tidak menempuh jalannya. Sesungguhnya kapal tidak akan berlayar di daratan.” (Syair ini ditemukan penisbatannya kepada Imam asy-Syafi’i dan juga kepada Abu al-‘Atahiyah, dan keduanya memang hidup pada masa yang sama. Dinukil dari, Mausu’atul Raqaaiq wal Adab, hal. 852)

Padahal siapa pun di dunia ini senantiasa menginginkan kebahagian. Manusia beriman sering membaca do’a yang sering disebut banyak orang di negeri ini dengan do’a sapu jagat. Jagat dunia akhirat di sapunya dalam permohonan ini.

رَبَّنَآ ءَاتِنَا فِي ٱلدُّنۡيَا حَسَنَةٗ وَفِي ٱلۡأٓخِرَةِ حَسَنَةٗ وَقِنَا عَذَابَ ٱلنَّارِ

“Ya Rabb kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka.” (Q.S. Baqarah, 201)

Ingatlah! Untuk mendapatkan kebaikan dan kebahagiaan di dunia itu adalah dengan ilmu dan amal. Al-Hasan menafsirkan ayat ini,

اَلْحَسَنَةُ فِي الدُّنْيَا اَلْعِلْمُ وَالْعِبَادَةُ، وَفِي الْآخِرَةِ اَلْجَنَّةُ

Kebaikan di dunia adalah ilmu dan ibadah, sedangkan di akhirat adalah surga. (Jaami’ul Bayaan Lil Thabari, hal. 545)

Sahabatku, para guru dan penuntut ilmu, sugguh jalanmu mencari kenikmatan hidup dengan selalu bergumul bersama ilmu dan para penuntut ilmu itu sudah tepat. Jangan pernah merasa minder dengan profesimu, apalagi merasa hina. Sungguh Allah Ta’ala telah mengangkat derajat para penuntut ilmu dan ahli ilmu.

يَرۡفَعِ ٱللَّهُ ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ مِنكُمۡ وَٱلَّذِينَ أُوتُواْ ٱلۡعِلۡمَ دَرَجَٰتٖۚ وَٱللَّهُ بِمَا تَعۡمَلُونَ خَبِيرٞ

“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Al-Mujaadilah, 11)

Bahkan kedudukan Ahli ilmu membuat iri para penguasa dan para pejabat yang terbuka mata hatinya dan memahami hakikat kehidupan ini. Ibrahim bin Adham rahimahullah berkata,

يَا أَبَا يُوسُفَ، لَوْ عَلِمَ الْمُلُوكُ وَأَبْنَاءُ الْمُلُوكِ مَا نَحْنُ فِيهِ مِنَ النَّعِيمِ لَجَالَدُونَا بِالسُّيُوفِ أَيَّامَ الْحَيَاةِ عَلَى مَا نَحْنُ فِيهِ مِنْ لَذِيذِ الْعَيْشِ. فَقَالَ أَبُو يُوسُفَ: طَلَبَ الْقَوْمُ الرَّاحَةَ وَالنَّعِيمَ فَأَخْطَئُوا الطَّرِيقَ الْمُسْتَقِيمَ. فَتَبَسَّمَ إِبْرَاهِيمُ

Wahai Abu Yusuf, jika para raja dan anak-anak raja mengetahui kenikmatan yang kita rasakan, niscaya mereka akan memerangi kita dengan pedang sepanjang hidup mereka untuk merebut apa yang kita miliki dari kenikmatan hidup.’ Maka Abu Yusuf berkata: ‘Mereka mencari kenyamanan dan kenikmatan, tetapi mereka salah (menyimpang) dari jalan yang lurus. Ibrahim pun tersenyum. (Al-Bidayah wan Nihayah, 13/502)

Lihatlah! Bagaimana kesadaran seorang pejabat yang telah merasakan nikmatnya kekuasaan, tapi Allah buka hatinya untuk melihat kenikmatan hakiki. Khatib Al-Baghdadi meriwayatkan dengan sanadnya, Bahwa Ibnu Al-‘Amid, salah seorang menteri terkemuka di zamannya pernah berkata:

مَا كُنْتُ أَظُنُّ أَنَّ فِيَ الدُّنْيَا حَلَاوَةً أَلَذَّ مِنَ الرِّئَاسَةِ وَالْوَزَارَةِ الَّتِي أَنَا فِيهَا حَتَّى شَاهَدْتُ مُذَاكَرَةَ سُلَيْمَانَ بْنِ أَحْمَدَ الطَّبَرَانِيِّ وَأَبِي بَكْرٍ الْجِعَابِيِّ بِحَضْرَتِي

Aku tidak pernah menyangka bahwa di dunia ini ada kenikmatan yang lebih manis daripada kekuasaan dan jabatan kementerian yang aku pegang, hingga aku menyaksikan perdebatan antara Sulaiman bin Ahmad At-Thabarani dan Abu Bakar Al-Ji’abi di hadapanku.

فَكَانَ الطَّبَرَانِيُّ يَغْلِبُ الْجِعَابِيَّ بِكَثْرَةِ حِفْظِهِ وَكَانَ الْجِعَابِيُّ يَغْلِبُ الطَّبَرَانِيَّ بِفِطْنَتِهِ وَذَكَاءِ أَهْلِ بَغْدَادَ حَتَّى ارْتَفَعَتْ أَصْوَاتُهَا وَلَا يَكَادُ أَحَدُهُمَا يَغْلِبُ صَاحِبَهُ

At-Thabarani mengungguli Al-Ji’abi dengan banyaknya hafalan yang ia miliki, sementara Al-Ji’abi mengungguli At-Thabarani dengan kecerdasan dan kepintaran khas penduduk Baghdad. Hingga suara mereka meninggi, dan tidak ada di antara mereka yang benar-benar mengalahkan yang lain.

فَقَالَ الْجِعَابِيُّ: عِنْدِي حَدِيثٌ لَيْسَ فِي الدُّنْيَا إِلَّا عِنْدِي فَقَالَ: هَاتِهِ فَقَالَ: نَا أَبُو خَلِيفَةَ نَا سُلَيْمَانُ بْنُ أَيُّوبَ وَحَدَّثَ بِالْحَدِيثِ

Kemudian Al-Ji’abi berkata: ‘Aku memiliki sebuah hadits yang hanya ada padaku di dunia ini.’ At-Thabarani berkata: ‘Sebutkanlah.’ Maka Al-Ji’abi berkata: ‘Aku mendengar dari Abu Khalifah yang mendengar dari Sulaiman bin Ayyub,’ lalu ia menyampaikan hadits tersebut.

فَقَالَ الطَّبَرَانِيُّ: أَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ أَيُّوبَ وَمِنِّي سَمِعَ أَبُو خَلِيفَةَ

At-Thabarani pun berkata: Aku adalah Sulaiman bin Ayyub (nama Asli Imam Ath-Thabrani), dan Abu Khalifah mendengar hadits itu dariku.

فَاسْمَعْ مِنِّي حَتَّى يَعْلُوَ إِسْنَادُكَ فَإِنَّكَ تَرْوِي عَنْ أَبِي خَلِيفَةَ عَنِّي

Maka dengarlah olehmu langsung dariku agar sanadmu lebih tinggi, karena engkau meriwayatkan dari Abu Khalifah, dan beliau dariku.

فَخَجَلَ الْجِعَابِيُّ وَغَلَبَهُ الطَّبَرَانِيُّ

Maka Al-Ji’abi merasa malu, dan At-Thabarani mengalahkannya.

قَالَ ابْنُ الْعَمِيدِ: فَوَدِدْتُ فِي مَكَانِي أَنَّ الْوِزَارَةَ وَالرِّئَاسَةَ لَيْتَهَا لَمْ تَكُنْ لِي وَكُنْتُ الطَّبَرَانِيُّ، وَفَرِحْتُ مِثْلَ الْفَرَحِ الَّذِي فَرِحَ بِهِ الطَّبَرَانِيُّ لِأَجَلِ الْحَدِيثِ أَوْ كَمَا قَالَ

Ibnu Al-‘Amid berkata: ‘Saat itu aku berharap bahwa jabatan menteri dan kekuasaan yang aku miliki seandainya tidak pernah aku miliki, dan aku menjadi seperti At-Thabarani yang bergembira dengan kegembiraan seperti yang dirasakan At-Thabarani karena hadits itu, atau sebagaimana yang dia katakan. (Al-Jaami’ Li Akhlaaqir Raawi, 2/274)

Sungguh, kenikmatan berfikir, menganalisa dan mengkaji sebuah ilmu adalah kenikmatan yang luar biasa bagi para penuntul ilmu. Diriwayatkan,

وَقَالَ الْفَقِيهُ الرَّبَّانِيُّ مُحَمَّدُ بْنُ حَسَنٍ الشَّيْبَانِيُّ عِنْدَمَا انْحَلَّتْ لَهُ مُشْكِلَاتُ الْعُلُومِ

al-Faqih al-Rabbani Muhammad bin Hasan al-Syaibani ketika masalah-masalah ilmu terpecahkan baginya, beliau berkata:

“أَيْنَ أَبْنَاءُ الْمُلُوكِ مِنْ هَذِهِ اللَّذَّةِ، سِيْمَا إِذَا كَانَتِ الْفِكْرَةُ

Di manakah putra-putra raja dari kenikmatan ini, terutama (kenikmatan) berpikir ini (Al-Khiththah Fi Dzikri Shihahis Sittah, hal. 26)

Bahkan, saking nikmatnya berkumpul di majelis ilmu menjadi kerinduan mereka di kala usia tua menghampiri masa wafatnya. Renungilah apa yang dirasakan oleh Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu, sosok sahabat yang paling mengetahui di antara umat Muhammad ﷺ tentang yang halal dan yang haram. Ia menangis saat menjelang wafatnya. Ia pun menjelaskan sebabnya…”

نَّمَا أَبْكِي عَلَى ظَمَأِ الْهَوَاجِرِ، وَقِيَامِ لَيْلِ الشِّتَاءِ، وَمُزَاحَمَةِ الْعُلَمَاءِ بِالرُّكَبِ عِنْدَ حِلَقِ الذِّكْرِ

“Aku menangis hanya karena (mengingat nikmat) kehausan tenggorokan (saat berpuasa) di hari-hari yang panas terik, berdiri (Shalat) di malam-malam musim dingin, dan kerumunan (menghadiri) para ulama dengan lutut yang berdesakan di majelis-majelis dzikir.” (Lathaaiful Ma’arif, hal. 524)

Lihatlah! Kenikmatan majelis ilmu, diantara kerinduan yang membuat air matanya tumpah. Maa Syaa Allah.

Sungguh, kelak kenikmatan ilmu mengenal Allah dan mengamalkannya seperti yang mereka rasakan, adalah kenikmatan yang kekal hingga hari akhirat kelak. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata,

وَلَا رَيْبَ أَنَّ لَذَّةَ الْعِلْمِ أَعْظَمُ اللَّذَّاتِ وَ ” اللَّذَّةُ ” الَّتِي تَبْقَى بَعْدَ الْمَوْتِ وَتَنْفَعُ فِي الْآخِرَةِ هِيَ لَذَّةُ الْعِلْمِ بِاَللَّهِ وَالْعَمَلِ لَهُ

“Tidak diragukan, bahwa kenikmatan ilmu adalah kenikmatan yang paling agung, dan ‘kenikmatan’ yang tetap ada setelah kematian. Dan yang bermanfaat di akhirat kelak adalah kenikmatan ilmu tentang Allah dan beramal untuk-Nya.” (Majmu’ Fatawaa, 14/162)

Sehingga sepanjang sejarah keilmuan, bagi para penuntut ilmu yang ikhlash mencari rido Allah Ta’ala kenikmatan ilmu betul-betul menjadi tujuan kebahagiaan yang ingin mereka raih. Kenikmatan ilmu adalah kekayaan yang ingin mereka kejar. Bagi mereka, ujian kesulitan hidup dan kekurangan harta dalam meraih ilmu dan mengajarkan ilmu itu ada kenikmatan tersendiri yang mereka rasakan. Imam Ibnul Jauziy rahimahullah berkata,

فَلَيْسَ فِي الدُّنْيَا أَطْيَبُ عَيْشًا مِنْ مُنْفَرِدٍ عَنِ الْعَالَمِ بِالْعِلْمِ، فَهُوَ أَنِيسُهُ وَجَلِيسُهُ، قَدْ قَنِعَ بِمَا سَلِمَ بِهِ دِينُهُ مِنَ الْمُبَاحَاتِ الْحَاصِلَةِ، لَا عَنْ تَكَلُّفٍ، وَلَا تَضْيِيعِ دِينٍ، وَارْتَدَى بِالْعِزِّ عَنِ الذُّلِّ لِلدُّنْيَا وَأَهْلِهَا، وَالْتَحَفَ بِالْقَنَاعَةِ بِالْيَسِيرِ، إِذَا لَمْ يَقْدِرْ عَلَى الْكَثِيرِ، فَوَجَدْتُهُ يَسْلَمُ دِينُهُ وَدُنْيَاهُ

Tidak ada di dunia ini kehidupan yang lebih nikmat daripada seseorang yang menyendiri dari dunia dengan ilmu. Ilmu adalah sahabat karibnya dan teman duduknya. Sungguh dia merasa cukup dengan apa yang menjaga agamanya dari perkara-perkara mubah, tanpa takalluf (membebani diri) dan tanpa menyia-nyiakan agama. Dia mengenakan kemuliaan, menghindari kehinaan dunia dan para penghuninya. Dan ia menyelimuti dirinya dengan rasa qana’ah (puas) atas yang sedikit jika tidak mampu mendapatkan yang banyak. Maka aku dapati dia selamat agama dan dunianya. (Shaidul Khaatir, 384)

Bahkan mereka berprinsip, perjuangan yang sulit dalam meraih ilmu adalah sebuah kemestian.
Diriwayatkan dari Ibnu Uyainah, ia berkata: “Aku mendengar Syu’bah berkata:

مَنْ طَلَبَ الْحَدِيثَ أَفْلَسَ

“Barangsiapa mencari (mempelajari) hadis, ia akan menjadi bangkrut (jatuh miskin).” (Min A’laamis Salaf, 9/9)

Mereka paham bahwa dengan derita meraih ilmu adalah jalan meraih kelezatannya. Ibn al-Labbad berkata:

مَنْ لَمْ يَحْتَمِلْ أَلَمَ التَّعَلُّمِ لَمْ يَذُقْ لَذَّةَ العِلْمِ، وَمَنْ لَمْ يَكْدَحْ لَمْ يُفْلِحْ

Barangsiapa yang tidak menanggung kesulitan dalam belajar, dia tidak akan merasakan kenikmatan ilmu. Dan barangsiapa yang tidak bersung-sungguh ia tidak akan beruntung

Rasa lapar dalam perjalan ilmu adalah hal yang biasa mereka lalui, bahkan Al-Nadhr bin Syumail pernah berkata,

لَا يَجِدُ الرَّجُلُ لَذَّةَ العِلْمِ حَتَّى يَجُوعَ وَيَنْسَى جُوعَهُ

“Seseorang tidak akan merasakan nikmatnya ilmu hingga ia lapar dan melupakan rasa laparnya.” (Tadzkiratul Huffazh Imam Adz-Dzahabi, hal. 229)

Sungguh sangat berlimpah riwayat perjuangan mereka yang menakjubkan dalam meraih ilmu dan menyebarkan ilmu ini. Langkah kita, adalah senantiasa membaca dan meresapi kisah demi kisah perjuangan hakiki itu dengan hati dan jiwa perjuangan. Semoga Allah Ta’ala memberikan taufiq-Nya kepada kita para guru dan penuntut ilmu agar istiqomah menapaktilas jalan kemulian dan kenikmatan hidup ini sebagaimana keistiqomahan mereka hingga akhir hayatnya.

Sahabatku, jangan pernah merasa jalan kita salah di saat melihat orang lain sudah kaya berlimpah harta sementara kita dengan usia yang sama dengan mereka belum punya apa-apa. Sahabatku, engkau orang kaya, kekayaanmu dengan ilmu dan amal atas karunia Allah Ta’ala yang akan membawa kebahagiaan hakiki hingga akhirat nanti. kita yakin janji Allah pasti benar.

Penulis: Firdaus Basyir As-Subayanjiy
Artikel: markizonline.com

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button