Inspirasi Pendidikan

Orang Tua Durhaka

Suatu malam dalam perjalanan dakwah di suatu kampung di pelosok sana, saya bercerita dengan seorang tokoh masyarakat, dia mengeluhkan kondisi anaknya. Padahal saya melihat di rumahnya terpajang foto-foto keluarga dan anak-anaknya, secara duniawi mereka tampak sudah sukses, dan anak-anaknya sudah tinggal di kota. Beliau berkata kepada saya “Beberapa waktu yang lalu saya pergi ke kota (beliau sebutkan kota tempat tinggal anak-anaknya), saya lihat anak-anak saya tidak peduli dengan shalatnya, air mata saya pun menetes memikirkannya”. Demikian kalimat ringkasnya yang menjadi renungan bagi saya dan kita semua.

Syukur air mata beliau masih menetes dan kerisauannya hadir manakala melihat kondisi anak-anaknya. Semoga Allah Ta’ala membimbingnya untuk kembali menasehati dan mengarahkan anak-anaknya. Ironinya, banyak orang tua yang tidak menangisi keadaan anaknya yang tidak shalat, ibadah utama yang mencegah anak untuk melakukan perbuatan keji dan mungkar. Kemudian hari baru menyesal, manakala ana-anak mereka tidak peduli dengan orang tuanya, mereka pun memvonis anak-anaknya sebagai anak durhaka dengan segala macam perangainya. Wal ‘iyaadzu billah.

Kita perlu instropeksi diri, seringkali kesalahan itu berawal dari kita sebagai orang tua. As-Samarqandi rahimahullah menceritakan, diriwayatkan dari ‘Umar bin Khattab radhiyallahu‘anhu, ada seorang laki-laki datang bersama anaknya kepada beliau, lalu berkata:

إِنَّ ابْنِي هَذَا يَعُقُّنِي

“Sesungguhnya anak saya ini durhaka kepada saya.”

Umar radhiyallahu ta’ala ‘anhu berkata kepada anak itu:

أَمَا تَخَافُ اللَّهَ فِي عُقُوقِ وَالِدِكَ، فَإِنَّ مِنْ حَقِّ الْوَالِدِ كَذَا، وَمِنْ حَقِّ الْوَالِدِ كَذَا

“Apakah kamu tidak takut kepada Allah karena durhaka kepada ayahmu? Sesungguhnya ada hak-hak ayah yang harus dipenuhi, seperti ini dan seperti itu.”

Anak itu bertanya:

يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ: أَمَا لِلابْنِ عَلَى وَالِدِهِ حَقٌّ؟

“Wahai Amirul Mukminin, apakah anak tidak memiliki hak atas ayahnya?”

Umar menjawab:

نَعَمْ حَقُّهُ عَلَيْهِ أَنْ يَسْتَنْجِبَ أُمَّهُ

“Ya, hak anak atas ayahnya adalah memilihkan ibu yang baik baginya.”

Maksudnya, “tidak menikahi wanita yang rendah kedudukannya sehingga anak tidak merasa malu karena ibunya.”

Umar melanjutkan:

وَحُسْنِ اسْمِهِ وَيُعَلِّمَهُ الْكِتَابَ

“Memberikan nama yang baik dan mengajarinya Al-Qur’an.”

Anak itu berkata:

فَوَاللَّهِ مَا يَكُونُ لِلْابْنِ تَعْيِيرٌ بِهَا

“Demi Allah, anak tidak pantas mencela (orang tuanya) karena hal itu.”

Dan dia melanjutkan ucapannya,

فَوَاللَّهِ مَا اسْتَنْجَبَ أُمِّي، وَمَا هِيَ إِلَّا سِنْدِيَّةٌ اشْتَرَاهَا بِأَرْبَعِ مِائَةِ دِرْهَمٍ، وَلَا حَسَّنَ اسْمِي. سَمَّانِي جَعْلًا ذَكَرَ الْخُفَّاشِ. وَلَا عَلَّمَنِي مِنْ كِتَابِ اللَّهِ آيَةً وَاحِدَةً

“Demi Allah, dia tidak memilihkan ibu yang baik untukku. Ibuku hanyalah seorang wanita dari Sind yang dibelinya seharga empat ratus dirham. Dia juga tidak memberikan nama yang baik untukku; dia menamaiku dengan nama “Ju’alan” kelelawar jantan. Dia juga tidak mengajariku satu ayat pun dari Kitabullah.”

Umar pun berpaling kepada sang ayah dan berkata:

تَقُولُ ابْنِي يَعُقُّنِي! فَقَدْ عَقَقْتَهُ قَبْلَ أَنْ يَعُقَّكَ. قُمْ عَنِّي

“Kamu berkata bahwa anakmu durhaka kepadamu! Padahal, kamu yang lebih dulu durhaka kepadanya sebelum dia durhaka kepadamu. Pergilah dariku.” (Tanbiihul Ghaafilin, hal. 130, bab Hak anak terhadap orang tua).

Sebelum menikah, seorang lelaki wajib mencarikan calon ibu yang shalihah buat anak-anak yang akan dilahirkan istrinya. Apalagi bagi seorang wanita, jangan sembarangan menerima laki-laki calon ayah anak yang akan lahir dari rahimnya. Agama dan kebaikan akhlaknya adalah syarat pertama dan utama.

Sering kali sumber masalahnya ada pada diri orang tua yang lalai dalam pendidikan anaknya. Imam Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah rahimahullah berkata:

وأكثرُ الأولادِ إنَّما جاء فَسَادُهُمْ مِنْ قِبَلِ الآباءِ وإهمالهِم لهم، وتَرْكِ تَعْليمِهم فرائضَ الدِّين وسُنَنِهُ، فأضاعُوهُمْ صغارًا، فلم يَنْتَفِعُوا بأنْفُسِهِمْ، ولم يَنْفَعُوا آباءَهُمْ كِبَارًا، كما عاتبَ بعضُهُم وَلَدَهُ على العُقُوقِ، فقال:

Dan kebanyakan anak-anak yang rusak itu sebenarnya disebabkan oleh orang tua mereka, yang mengabaikan mereka, dan tidak mengajarkan kewajiban-kewajiban agama dan sunnah-sunnahnya. Mereka menyia-nyiakan anak-anak mereka ketika masih kecil, sehingga anak-anak itu tidak bisa memberi manfaat bagi diri mereka sendiri dan juga tidak bermanfaat bagi orang tua mereka ketika dewasa.

Seperti yang pernah dikatakan oleh seorang anak kepada ayahnya tentang kedurhakaan:

يا أبَتِ إنَّك عَقَقْتَنِي صغيرًا، فعقَقْتُك كبيرًا، وأضَعْتَنِي وليدًا، فأضعتُك شيخًا كبيرًا!

Wahai Ayah, engkau telah mendurhakaiku ketika aku kecil, maka aku mendurhakaimu ketika engkau sudah tua. Engkau telah menyia-nyiakanku saat aku masih kecil, maka aku menyia-nyiakanmu ketika engkau sudah menjadi orang tua yang renta. (Tuhfatul Maudud, 337)

Ketika menafsirkan hadits Nabi ﷺ dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu’anhu,

‏مَا مِنْ مَوْلُودٍ إِلَّا يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ كَمَا تُنْتَجُ الْبَهِيمَةُ بَهِيمَةً جَمْعَاءَ هَلْ تُحِسُّونَ فِيهَا مِنْ جَدْعَاءَ ثُمَّ يَقُولُ ‏ { ‏فِطْرَةَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لَا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ

“Tidak ada seorang pun yang dilahirkan kecuali dilahirkan dalam keadaan fitrah. Kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi, sebagaimana seekor binatang melahirkan anak binatang yang sempurna. Apakah kalian melihat ada yang terpotong telinganya? Kemudian beliau membaca ayat: “Fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah; itulah agama yang lurus.” (QS. Ar-Rum: 30)

Imam Ibnu Hajr Al-‘Asqalaniy rahimahullah berkata,

وَأَشْهَرُ الْأَقْوَالِ أَنَّ الْمُرَادَ بِالْفِطْرَةِ الْإِسْلَامُ، قَالَ ابْنُ عَبْدِ الْبَرِّ: وَهُوَ الْمَعْرُوفُ عِنْدَ عَامَّةِ السَّلَفِ. وَأَجْمَعَ أَهْلُ الْعِلْمِ بِالتَّأْوِيلِ عَلَى أَنَّ الْمُرَادَ بِقَوْلِهِ تَعَالَى: ﴿فِطْرَتَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا﴾ الْإِسْلَامُ، وَاحْتَجُّوا بِقَوْلِ أَبِي هُرَيْرَةَ فِي آخِرِ حَدِيثِ الْبَابِ: اقْرَءُوا إِنْ شِئْتُمْ: ﴾ فِطْرَتَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا ﴿

Pendapat yang paling terkenal menyatakan bahwa yang dimaksud dengan “fitrah” adalah Islam. Ibnu Abdil Barr berkata: “Itulah yang dikenal di kalangan mayoritas salaf.” Para ulama tafsir sepakat bahwa yang dimaksud dengan firman Allah Ta’ala: ﴾ فِطْرَتَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا ﴿ adalah Islam. Mereka berdalil dengan perkataan Abu Hurairah di akhir hadits pada bab ini: “Bacalah jika kalian mau: ﴾ فِطْرَتَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا ﴿.” (Fathul Baari, 3/248)

Jadi, tidaklah anak menjadi anak durhaka melainkan kita sebagai orang tua wajib bermuhasabah, boleh jadi kita lebih duluan menjadi orang tua yang durhaka, orang tua yang telah menjadikan anak berperangai Yahudi, Nashari atau Majusi. Semoga Allah Ta’ala membimbimbing kita semua.

Penulis: Firdaus Basyir As-Subayanjiy
Artikel: markizonline.com

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button